Jakarta (29/3/16). Mengangkat konteks hukum di Indonesia selalu menarik. Pada tataran norma maupun praktik, hukum selalu mengandung unsur-unsur, sistem, formula, asas serta konsekuensi dari hukum itu sendiri. Pemaknaan secara spesifik terhadap Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Korupsi tidak dapat dilepas pisahkan dari kerangka hukum pada umumnya. Di sinilah, sistem dan penerapan hukum (UU) cenderung rancu dan inkonsisten karena sistem pendidikan hukum sangat lazim menginterpretasi kaidah atau norma hukum secara sederhana. Hal ini juga disebabkan oleh asas legalitas terhadap hukum tidak tertulis serta penyalahgunaan wewenang yang berakibat pada lemahnya sistem pembuktian guna membedakan hukum formil dan materiil. Dalam frame penegakan hukum yang seharusnya, upaya melenturkan proses hukum (restoratif) terhadap penyalahgunaan wewenang justru mengakibatkan hukum melindungi kesewenang-wenangan. Secara hukum, hal ini dikenal dengan legislative error.”

Demikian diungkapkan Ketua Umum Dewan Pimpinan Perhimpunan Advokat  Indonesia (DPN PERADI), Luhut MP Pangaribuan dalam presentasi materi ketika hadir sebagai salah satu narasumber dalam kegiatan Seminar yang digelar oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dalam kerjasamanya dengan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (STHIJ). Kegiatan seminar yang berlangsung di Auditorium STHIJ, Puri Imperium Office Plaza, Selasa (29/3/16) mengangkat tema Pemaknaan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Korupsi; Norma dan Praktiknya.

Luhut menjelaskan bahwa secara asas hukumnya, hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik yang harus dibedakan dari hukum privat. Menurutnya, harus diperjelas asas legalitas terutama terhadap hukum tidak tertulis.

“Logika hukumnya, harus ada dalam Undang-Undang baru ada pidana. Lalu bagaimana jika perbuatan itu di luar dari UU? Apakah asas legalitas masih relevan untuk konteks hukum sekarang? Jika demikian, maka justru hukum melindungi kesewenang-wenangan. Asas legalitas semestinya tidak terikat pada formula hukum yang kaku yakni elemen/unsur mana yang harus didahulukan atau kemudian, sebaliknya legalitas alat bukti hukum tidak harus terikat pada 1-2 alat bukti, melainkan secara keseluruhan. Selain asas legalitas, ada juga asas subsidiaritas (pidana administratif) dan asas restoratif (upaya pelemahan proses hukum). Terkait legalitas tidak tertulis dalam frame hukum baik de jure maupun de facto, di mana posisi kita sesungguhnya agar dapat menghindari dan mengatasi inkonsistensi penafsiran dan penerapan pasal-pasal hukum?” tantang Luhut.

Menyinggung tema seminar, Luhut justru memberikan tanggapan kritis. “Terkait Pasal 2 dan 3 UU Korupsi, justru konsekuensi hukumnya yang rancu dan timpang di mana konsekuensi Pasal 3 sebagai spesies hukum malah lebih berat daripada Pasal 2 sebagai genus hukumnya. Sangat dipahami jika penerapan hukum dengan pendasaran 2 alat bukti berbeda antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan tujuan supaya tidak ada Surat Perintah Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) dengan Mahkamah Konstitusi. Agar sistem hukum kita tidak keliru dan rancu, maka baik di legislatif maupun yudikatif, legalitas pembuktian itu sebenarnya sebagai permulaan untuk proses persidangan. Hal yang sama juga harus dipahami bahwa pengadilan bukan lembaga hukum untuk mencari seseorang supaya diadili atau dihukum, melainkan lembaga penegak hukum agar bagaimana hukum itu sungguh-sungguh ditegakan,” kata Luhut.

Pada akhirnya Luhut menandaskan pentingnya pemahaman kerangka hukum secara keseluruhan sehingga praktik penerapan dan penegakan hukum pun dapat berjalan dengan tepat.

“Setiap pasal hukum dan UU memiliki konsekuensi hukum yang mengikat. Harus diakui bahwa Pasal 2 dan 3 UU no 31 tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan UU no 20 tahun 2011 tentang Tindak Pidana Korupsi, pada tataran norma dan praktik harus sejalan dan konsisten. Jika tidak demikian, maka pelanggaran-pelanggaran hukum sangat sulit dicegah,” tandasnya.

Selain Luhut yang berbicara dari perspektif Advokat, seminar tersebut juga dibedah oleh beberapa narasumber yakni Chandra M. Hamzah (Mantan Komisioner KPK juga Pengajar Hukum Pidana STHIJ), Arsil (Peneliti Lembaga Advokasi untuk Independensi Peradilan), serta Perwakilan dari Komisioner KPK, Bapak Setiawan. Jalannya seminar dipandu oleh Peneliti PSHK, Estu Dyah.**