Mendorong Sinergi MA dan KY: Menjembatani Pengawasan Perilaku Hakim dan Teknis Yudisial

FGD yang diselenggarakan LeIP membuka diskusi penting tentang batas pengawasan teknis yudisial dan perilaku hakim, sebuah isu klasik yang kembali mengemuka. DPN PERADI hadir dan memberikan pandangan tegas atas pentingnya sinergi antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial demi integritas peradilan.

Pada 14 Desember 2023, Lembaga untuk Independensi Peradilan (LeIP) menggelar Focus Group Discussion (FGD) di Novotel Cikini, Jakarta. Diskusi ini mengambil topik yang telah lama menjadi perdebatan dalam sistem peradilan Indonesia: batas antara pengawasan teknis yudisial dan perilaku hakim. DPN PERADI melalui Ketua Bidang Pro Bono dan Bantuan Hukum, Febi Yonesta, S.H., hadir dan memberikan catatan kritis yang memantik refleksi mendalam.

Hasil penelitian yang dipresentasikan LeIP mengungkapkan bahwa perbedaan tafsir antara Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) masih menjadi penghambat utama efektivitas pengawasan. Sering kali, rekomendasi sanksi dari KY tidak ditindaklanjuti oleh MA karena dianggap telah menyentuh substansi teknis perkara. Padahal dalam sejumlah kasus, pelanggaran perilaku hakim justru erat kaitannya dengan kekeliruan hukum (legal error) dalam putusan.

Tujuan Pengawasan Perlu Dirumuskan Ulang

Dalam paparannya, Febi Yonesta menyoroti bahwa baik UU Kekuasaan Kehakiman, UU MA, maupun UU KY tidak secara eksplisit merumuskan tujuan dari pengawasan. Namun jika mencermati lebih seksama, secara tersirat undang-undang tersebut mengandung pesan normatif: pengawasan seharusnya bertujuan mewujudkan peradilan yang adil, independen, sederhana, bebas dari korupsi, tidak diskriminatif, serta menjunjung integritas hakim.

Menurut Febi, polemik soal batasan kewenangan MA dan KY seharusnya tak perlu terjadi jika kedua lembaga menempatkan tujuan pengawasan sebagai pijakan utama. Tanpa sinergi yang sehat, MA dan KY sulit memenuhi ekspektasi masyarakat pencari keadilan.

Menjaga Marwah Kebebasan Hakim, Tanpa Menutup Koreksi

Salah satu kendala yang terus muncul adalah ketentuan bahwa pengawasan tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memutus perkara. Febi Yonesta mengingatkan bahwa “kebebasan hakim” tidak boleh diartikan sebagai kekebalan dari evaluasi. Justru, dalam banyak kasus, perilaku yang menyimpang selama persidangan berkorelasi dengan putusan yang bias atau mengabaikan fakta-fakta penting di persidangan. Koreksi atas substansi putusan, dalam konteks tersebut, bukanlah intervensi—melainkan penjaga marwah keadilan.

“Keberpihakan itu sendiri adalah bentuk dari ketidakbebasan hakim. Ketika pengawasan menyentuh aspek teknis, itu bukan serangan terhadap independensi, melainkan mekanisme akuntabilitas,” tegas Febi.

Modal Peraturan Bersama yang Terlupakan

Dewan Pimpinan Nasional PERADI melalui Febi Yonesta juga mengingatkan bahwa MA dan KY sebenarnya sudah memiliki fondasi kerjasama melalui Peraturan Bersama Tahun 2012. Model pemeriksaan bersama ini semestinya diperluas dan diperkuat, bukan diabaikan. Jika memang benar-benar ingin menjaga kualitas peradilan, mengapa tidak dijadikan sebagai praktik reguler?

Tantangan terbesar dalam pengawasan bukan sekadar soal yurisdiksi, tapi pada kemauan politik dan institusional untuk menempatkan keadilan substantif sebagai orientasi utama. Dalam hal ini, PERADI menyuarakan pentingnya menempatkan pengawasan bukan sebagai saling rebut kewenangan, tetapi sebagai ruang kolaborasi antara dua lembaga yang semestinya menjaga integritas peradilan Indonesia.

Penutup: Sinergi, Bukan Kompetisi

FGD yang diselenggarakan oleh LeIP ini kembali mengingatkan bahwa kita membutuhkan sistem pengawasan yang koheren dan kolaboratif. Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, alih-alih bersaing dalam tafsir kewenangan, harus duduk bersama dan meneguhkan tujuan bersama: menjaga integritas hakim dan kualitas putusan.

Sebagaimana disampaikan oleh DPN PERADI, tidak ada satu pun lembaga yang mampu bekerja sendiri menjaga marwah kekuasaan kehakiman. Dan seperti yang ditutup oleh Febi Yonesta dalam FGD tersebut, “Ketika pengawasan diarahkan pada tujuan yang tepat, maka bukan hanya integritas hakim yang terjaga—melainkan juga kepercayaan publik terhadap peradilan.”

 

Discover more from PERADI

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading