Sebagai bagian dari upaya mendorong revisi KUHAP yang lebih adil dan akuntabel, Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) diundang untuk memberikan masukan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di Komisi III DPR RI. Kehadiran PERADI dalam forum ini menandai langkah serius dalam memperjuangkan reformasi hukum acara pidana di Indonesia. Delegasi PERADI terdiri dari Ketua Umum DPN PERADI Dr. Luhut M.P. Pangaribuan, S.H., LL.M., Wakil Ketua Umum Ifdhal Kasim, S.H., LL.M., Wakil Sekjend M. Daud Beureuh, S.H., Ketua Bidang PKPA Irianto Subiakto, S.H., LL.M., Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Organisasi Zainal Abidin, S.H., M.Law&Dev, Ketua Bidang Informasi, Komunikasi dan Publikasi Anggara Suwahju, S.H., M.H., serta Ketua Bidang Pro Bono dan Bantuan Hukum Febi Yonesta, S.H.
Dalam pernyataannya di Komisi 3 DPR RI, Dr. Luhut M.P. Pangaribuan menegaskan bahwa sistem hukum acara pidana di Indonesia sudah terlalu lama stagnan dan tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. “KUHAP yang kita gunakan saat ini lahir pada 1981. Lebih dari empat dekade berlalu tanpa ada pembaruan substansial, sementara tantangan dalam penegakan hukum semakin kompleks. Ini bukan hanya soal revisi teknis, tetapi soal keberpihakan terhadap keadilan yang lebih substansial,” ujarnya.
KUHAP yang Ketinggalan Zaman dan Tantangan Baru dalam Penegakan Hukum
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang saat ini berlaku telah melewati lebih dari empat dekade tanpa perubahan signifikan. Dalam kurun waktu tersebut, lanskap sosial, hukum, dan teknologi di Indonesia telah mengalami transformasi besar. Namun, regulasi hukum acara pidana masih bertumpu pada sistem lama yang tidak sepenuhnya mampu menjawab tantangan zaman. Menurut Dr. Luhut, “Sistem peradilan pidana kita masih belum memberikan keseimbangan antara kewenangan aparat penegak hukum dan perlindungan hak-hak individu. KUHAP harus direformasi agar lebih melindungi masyarakat dan mencegah penyalahgunaan wewenang.”
Tiga Pilar Perubahan KUHAP yang Didorong PERADI
PERADI menyoroti tiga masalah utama dalam KUHAP yang harus segera diperbaiki agar sistem peradilan pidana lebih adil, transparan, dan menjunjung hak asasi manusia. Pertama, KUHAP belum sepenuhnya terintegrasi dengan konstitusi, terutama dalam memastikan sistem peradilan pidana yang berpihak pada keadilan substantif. Advokat sebagai bagian dari sistem peradilan pidana masih diposisikan secara marginal, seakan hanya sebagai ‘pelengkap’ dalam proses hukum.
Kedua, sistem peradilan pidana yang diterapkan saat ini lebih bersifat administratif dan diskresioner ketimbang berorientasi pada pencapaian keadilan substantif. Proses hukum sering kali lebih menitikberatkan pada prosedur formal daripada memastikan keadilan bagi pihak yang terlibat. Ketiga, hak asasi manusia dalam praktik peradilan pidana masih bersifat retoris. Banyak kasus yang menunjukkan bagaimana penangkapan, penahanan, dan upaya paksa lainnya dilakukan tanpa kontrol yudisial yang ketat. “Hak asasi manusia tidak boleh sekadar jargon. KUHAP harus mampu melindungi setiap individu dari potensi penyalahgunaan wewenang aparat hukum,” tegas Dr. Luhut Pangaribuan.
Peran Advokat dalam Sistem Peradilan Pidana
Salah satu poin krusial dalam pembaruan KUHAP adalah pengakuan peran advokat sebagai bagian integral dari sistem peradilan pidana. Saat ini, kedudukan advokat belum sepenuhnya diakui sebagai penegak hukum setara dengan jaksa dan polisi. PERADI mendorong agar revisi KUHAP mengakomodasi advokat sebagai aktor utama dalam menjaga keseimbangan proses hukum. “Advokat bukan sekadar pembela, tetapi penjaga hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana. Revisi KUHAP harus memastikan peran advokat sebagai pilar penting dalam keseimbangan hukum,” ujar Dr. Luhut Pangaribuan.
Mekanisme Judicial Scrutiny untuk Mengawasi Upaya Paksa
Revisi KUHAP juga harus memastikan bahwa setiap tindakan upaya paksa, seperti penangkapan dan penahanan, tunduk pada mekanisme judicial scrutiny yang ketat. Salah satu kelemahan KUHAP saat ini adalah tidak adanya kontrol yudisial yang memadai terhadap tindakan aparat penegak hukum sebelum seseorang dinyatakan sebagai tersangka. “Kita harus bergerak menuju sistem yang lebih modern, di mana setiap keputusan hukum, termasuk penangkapan, harus diuji keabsahannya di hadapan hakim sebelum dilakukan,” ujar Dr. Luhut Pangaribuan.
Pendekatan ini akan memastikan bahwa tidak ada lagi praktik sewenang-wenang dalam sistem peradilan pidana. Judicial scrutiny juga dapat mencegah penggunaan alat bukti yang diperoleh dengan cara-cara yang melanggar hukum, seperti penyiksaan atau tekanan terhadap tersangka selama pemeriksaan.
Mendorong Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana
PERADI juga menyoroti pentingnya mengadopsi pendekatan keadilan restoratif dalam revisi KUHAP. Pendekatan ini lebih mengutamakan pemulihan korban dan penyelesaian perkara secara damai dibandingkan sekadar menghukum pelaku. Saat ini, mekanisme keadilan restoratif sudah diakomodasi dalam beberapa peraturan institusional seperti Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024. Namun, regulasi ini masih bersifat parsial dan belum diintegrasikan ke dalam KUHAP sebagai hukum acara pidana utama.
“Keadilan restoratif harus menjadi bagian dari sistem hukum kita, bukan sekadar kebijakan opsional. Dengan cara ini, kita bisa menciptakan sistem hukum yang lebih manusiawi dan berorientasi pada pemulihan sosial,” jelas Dr. Luhut Pangaribuan.
Revisi KUHAP bukan sekadar wacana, tetapi kebutuhan mendesak bagi Indonesia agar memiliki sistem peradilan pidana yang lebih modern, transparan, dan adil. Dari pengakuan peran advokat, penerapan judicial scrutiny yang lebih ketat, hingga integrasi keadilan restoratif, semua elemen ini harus menjadi bagian dari perubahan hukum acara pidana yang komprehensif.
“Hukum harus berfungsi untuk melindungi dan memberikan keadilan bagi semua pihak, bukan hanya untuk melanggengkan kewenangan negara,” pungkas Dr. Luhut Pangaribuan. Dengan reformasi yang tepat, Indonesia dapat membangun sistem peradilan pidana yang lebih baik dan sesuai dengan nilai-nilai demokrasi serta hak asasi manusia.
Unduh Pokok – Pokok Pikiran PERADI dalam Pembaruan Hukum Acara Pidana Indonesia