Proses pembahasan Rancangan KUHP antara pemerintah dan DPR terus berlangsung. Presiden Joko Widodo dalam sebuah Rapat Terbatas mengenai RKUHP juga meminta agar pemerintah terus menyerap aspirasi dari masyarakat seluas – luasnya.

Dalam sebuah kesempatan Moh. Mahfud MD, Menko Polhukam, menyatakan jika diskusi mengenai RKUHP akan dilakukan secara terbuka dan lebih proaktif melalui dua jalur.

“Pertama akan terus dibahas di DPR untuk menyelesaikan 14 masalah ini. Kemudian jalur yang kedua terus melakukan sosialisasi dan diskusi ke simpul-simpul masyarakat yang terkait dengan masalah-masalah yang masih di diskusikan itu,” ungkapnya.

Menyambut ajakan pemerintah tersebut, DPN PERADI bersama – sama dengan DPP KAI dan DPN PERADI SAI menggelar Seminar Nasional Advokat Indonesia Membahas Rancangan KUHP 2022 dengan tema Mewujudkan KUHP Baru yang Mampu Menciptakan Keadilan.

Dalam seminar yang diselenggarakan di Hotel Le Meridien Jl. Jenderal Sudirman No. Kav 18-20 Jakarta tersebut menghadirkan wakil – wakil dari organisasi advokat yaitu , Dr. Luhut MP Pangaribuan, S.H., LLM., Ketua Umum DPN PERADI, Dr. A. Patra M. Zen, S.H., LLM, Sekretaris Jenderal DPN PERADI Suara Advokat Indonesia, dan Diyah Sasanti R., S.H., M.B.A., M.Kn., CIL., CLA., CLI., CRA., Wakil Presiden KAI Bidang Perempuan dan Anak.

Sementara mewakili pemerintah dan DPR hadir pula Prof. Dr. Edward O.S Hiariej, S.H., M.Hum, Wakil Menteri Hukum dan HAM,  Dr. Dhahana Putra, Bc.IP., S., M.Si, Plt. Dirjen Peraturan Perundang-Undangan – Kementerian Hukum dan HAM, dan Dr. H. Asrul Sani, S.H., M.Si., Pr.M, Wakil Ketua MPR dan Anggota Komisi 3 DPR

Dalam pemaparannya Dr. Luhut M.P. Pangaribuan, S.H., LL.M. Ketua Umum DPN PERADI mempertanyakan apakah RKUHP ini akan mampu menciptakan keadilan.

“Apakah pemerintah dan DPR, masih mau mendengarkan berbagai masukan tidak hanya mengenai 14 isu tertunda dalam RKUHP akan tetapi juga masukan selain di luar 14 isu yang masih tertunda tersebut?” tanya Luhut

Karena itu Luhut mengapreasi pernyataan Presiden yang meminta agar pemerintah dan DPR mendengarkan masukan dari masyarakat. Meski demikian, ia juga menyitir kritikan yang muncul dari ELSAM yang menjelaskan jika RKUHP mengandung bibit over kriminalisasi.

“Elsam menyebutkan jika RKUHP bukan instrumentasi penguatan terhadap perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan sipil warga negara, sebaliknya justru menjadi instrumen penguatan kuasa negara yang hegemonik dan represif”. ungkap Luhut

Luhut mencontohkan ketentuan Pasal 280 tentang Contempt of Court yang selengkapnya berbunyi

Dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II, Setiap Orang yang
pada saat sidang pengadilan berlangsung:
a. tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;
b. bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan padahal telah diperingatkan oleh hakim atau menyerang integritas hakim dalam sidang pengadilan; atau
c. tanpa izin pengadilan merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan proses persidangan.

Secara spesifik, Luhut menunjuk jika babnya menyebutkan Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan, namun dalam RKUHP disebutkan jika peradilan berfokus pada hakim. Padahal dalam peradilan itu ada Jaksa dan Advokat.

“Yang disebut sebagai Peradilan apakah hanya Hakim? Karena itu harusnya memuat juga Contempt of Power. Karena itu ia usul tidak hanya Hakim namun juga Jaksa dan Advokat. Ketiganya ini disebut sebagai the benchers” ujar Luhut

PERADI, menurut Luhut merekomendasikan agar ada perubahan terhadap ketentuan Pasal 380 RKUHP, khususnya terhadap huruf b dan c.

“Dipidana dengan denda paling banyak kategori II, setiap orang yang pada saat sidang pengadilan berlangsung;

b. bersikap tidak hormat terhadap hakim, jaksa dan advokat dalam sidang pada hal telah diperingatkan oleh hakim atau melalui hakim ketua (atau setidak-tidaknya frasa menyerang integritas hakim dalam sidang pengadilan dihapus).

c. sebaiknya dihapus. Sekalipun sudah ada penjelasan maka akan tetap potensi menimbulkan kriminalisasi yang tidak perlu.”

Luhut menyampaikan bahwa kontroversi memang selalu terjadi dan harus direspon  dan diberi ruang seluas-luasnya dari kalangan yang lebih luas.

“Perlu memberi ruang seluas-luasnya untuk memperbaiki dari kalangan yang lebih luas tapi bisa dimengerti batas tetap harus ada juga. Karena itu kami menyatakan setuju diundangkan tapi dengan tetap memberi kesempatan perbaikan sebelumnya dengan sekalipun dengan batasan waktu.” pungkas Luhut