Restorative Justice Harus Berlandaskan Pancasila: Gagasan Sistemik dari PERADI

Pelaksanaan keadilan restoratif atau restorative justice tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai dasar bangsa. Dr. Luhut M.P. Pangaribuan, S.H., LL.M., Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI), menegaskan bahwa restorative justice harus dibangun di atas landasan Pancasila agar tetap menjadi instrumen keadilan yang manusiawi dan kontekstual di Indonesia.

Pernyataan ini disampaikan dalam Webinar Nasional bertajuk Restorative Justice sebagai Implementasi Dominus Litis Kejaksaan Republik Indonesia, yang digelar pada Rabu, 20 Juli 2022.

Restorative Justice dalam Bingkai Kekuasaan Kehakiman

Dalam pemaparannya, Dr. Luhut menyatakan bahwa restorative justice bukanlah sekadar pendekatan alternatif dalam penyelesaian perkara pidana, namun merupakan bagian dari pembaruan sistem hukum yang lebih holistik.

“Mulai dari UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman, Kejaksaan disebut sebagai subsistem kekuasaan kehakiman. Karena itu, restorative justice perlu dipandang secara sistemik,” jelas Luhut.

Menurutnya, restorative justice idealnya berada dalam fase adjudikasi, bukan pra-adjudikasi, sehingga benar-benar menjadi bagian dari proses pencapaian keadilan substantif dalam sistem peradilan pidana. Hal ini membedakannya dengan konsep diversi atau transactie seperti yang dipraktikkan di Belanda.

Variasi Regulasi: Tantangan dan Peluang

Dr. Luhut menyoroti bahwa implementasi restorative justice dalam peraturan yang ada—mulai dari UU Kejaksaan, Peraturan Kapolri, hingga Peraturan Mahkamah Agung—masih menunjukkan variasi yang perlu dikelola dengan hati-hati.

“Kalau tidak dikelola dengan baik, variasi ini akan memunculkan perbedaan-perbedaan yang justru kontraproduktif terhadap semangat keadilan,” tegasnya.

Namun, ia juga menilai bahwa keberagaman tersebut merupakan peluang untuk memperkuat konsep keadilan yang lebih adaptif terhadap konteks sosial dan kultural masyarakat Indonesia.

Restorative Justice dan Peran Sentral Kejaksaan

Dalam kesempatan berbeda, Jaksa Agung Burhanuddin menyampaikan bahwa restorative justice kini menjadi fokus utama pembangunan hukum di Indonesia. Hal ini sejalan dengan peran Jaksa sebagai dominus litis, atau pengendali perkara.

“Kejaksaan adalah satu-satunya institusi yang berwenang menentukan apakah suatu perkara layak diajukan ke pengadilan atau tidak,” ujar Burhanuddin.

Hingga Juli 2022, Kejaksaan telah menghentikan penuntutan berdasarkan keadilan restoratif terhadap 1.334 perkara dari 1.454 permohonan, menunjukkan keseriusan implementasi kebijakan ini.

Rumah Restorative Justice: Ruang Adat untuk Keadilan Substantif

Untuk memperkuat penerapan nilai-nilai lokal dalam keadilan restoratif, Kejaksaan juga membentuk Rumah Restorative Justice (Rumah RJ). Inisiatif ini diharapkan menjadi ruang partisipatif yang melibatkan tokoh adat, agama, dan masyarakat.

“Rumah RJ akan menyerap nilai-nilai kearifan lokal serta menghidupkan kembali peran masyarakat dalam menyelesaikan perkara pidana secara adil dan manusiawi,” tutur Jaksa Agung.

Penutup: Membangun Sistem Hukum yang Berkeadilan

Dr. Luhut menutup pemaparannya dengan penegasan bahwa restorative justice harus menjadi bagian dari sistem hukum yang berpihak pada keadilan substansial, bukan semata prosedural. Dan yang paling utama, semua harus berakar pada nilai-nilai Pancasila sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Meningkatkan keadilan harus berdasarkan Pancasila,” pungkas Luhut.


Discover more from PERADI

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Discover more from PERADI

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading