Mahkamah Agung saat ini tengah menyusun rancangan peraturan tentang Pedoman Mengadili dan Pemidanaan Perkara Narkotika yang mencakup Pasal 111 sampai dengan 127 Undang-Undang Narkotika. Inisiatif penyusunan peraturan ini merupakan respons terhadap disparitas putusan dalam perkara narkotika yang masih terjadi, sehingga dibutuhkan kesatuan dan kepastian hukum.

Dalam rangka mendapatkan masukan yang berharga, Mahkamah Agung bekerja sama dengan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) mengadakan diskusi kelompok terfokus (FGD) dengan topik “Penyempurnaan PERMA Pedoman Mengadili dan Pemidanaan Tindak Pidana Narkotika”. Diskusi ini berlangsung di Hotel Ashley Jakarta pada hari Kamis, 27 Juli.

Peran organisasi advokat sangat dianggap penting dalam penyusunan rancangan peraturan MA ini. Oleh karena itu, IJRS mengundang Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) untuk berpartisipasi dalam diskusi ini, yang melibatkan banyak pemangku kepentingan. Dari pihak DPN PERADI, hadir Maria Lince Sitohang, S.H., M.H. sebagai Sekretaris Bidang PKPA, Febi Yonesta, S.H. sebagai Ketua Bidang Probono dan Bantuan Hukum, dan Theresia Mariami Purba, S.H. sebagai anggota Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak.

Dalam diskusi tersebut, DPN PERADI menyampaikan beberapa rekomendasi yang dianggap penting:

Pertama, meskipun Peraturan Mahkamah Agung (Perma) hanya mengikat para hakim di bawah Mahkamah Agung dan berlaku hanya pada tingkat ajudikasi, hakim tetap memiliki kewenangan untuk memeriksa keabsahan alat bukti yang diajukan oleh penuntut umum. Hal ini menegaskan bahwa hakim memiliki peran penting dalam memastikan validitas dan keabsahan bukti yang dipresentasikan dalam sidang.

Kedua, DPN PERADI menyarankan agar kepolisian tidak dapat memberikan keterangan sebagai saksi a charge (sebagai pihak yang menuntut). Hal ini disarankan karena kepolisian memiliki potensi konflik kepentingan yang besar dalam perkara, sehingga keterlibatan mereka sebagai saksi dapat mempengaruhi independensi dan objektivitas proses peradilan.

Ketiga, Perma diharapkan dapat mengatur tata cara memeriksa keabsahan alat bukti dengan memperluas ketentuan pemeriksaan saksi verbalisan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menguji apakah bukti yang diperoleh berasal dari penyiksaan atau perbuatan melawan hukum lainnya. Jika terbukti adanya pelanggaran hak asasi manusia atau perbuatan melawan hukum dalam memperoleh bukti, maka bukti tersebut harus diabaikan oleh hakim dalam proses pengambilan keputusan.

Dengan masukan yang berharga dari DPN PERADI dan pemangku kepentingan lainnya, diharapkan rancangan peraturan MA tentang Pedoman Mengadili dan Pemidanaan Perkara Narkotika Pasal 111 sampai dengan 127 Undang-Undang Narkotika dapat disempurnakan untuk mencapai kesatuan dan kepastian hukum dalam penanganan perkara narkotika di Indonesia. Semoga diskusi ini menjadi langkah maju dalam memperbaiki sistem peradilan dan menjaga keadilan bagi semua pihak yang terlibat dalam proses peradilan perkara narkotika.