Oleh: M. Daud Beureuh

Masih segar dalam ingatan kolektif kita, di mana pada 2015 & 2017 PERADI RBA bersama seluruh Organisasi Advokat mendeklarasikan sebuah gagasan penting untuk memperkuat marwah profesi. Deklarasi tersebut digagas bukan tanpa alasan, melainkan sebagai refleksi bersama atas kisruh & polemik yang terus menerus melanda Organisasi Advokat.

Sistim Single Bar & Multi Bar menjadi diskursus yang tak berujung, karena frekuensi pemikiran atas konsep kedua sistem tersebut tidak dibarengi dengan formula yang konseptual akan keberpihakan pada kebaikan bersama. Di lain pihak, masih ada Organisasi Advokat yang terus menerus mengkampanyekan single bar. Padahal realitas Organisasi Advokat saat ini sudah Multi bar dengan Keputusan Mahkamah Agung No 073/2015 yang menegaskan bahwa usulan penyumpahan Advokat dapat diusulkan oleh Organisasi Advokat mana pun.

Kemudian saat yang sama kita telah memasuki era modern yang diperkuat dengan percepatan laju teknologi digital sehingga semua pihak tak terkecuali Organisasi Advokat wajib menyesuaikan, jika tidak ingin ditinggalkan oleh zaman. Selanjutnya kehadiran UU Advokat melalui UU No 18/2003 menjadi salah satu UU yang paling banyak diujikan melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Maknanya terdapat banyak catatan penting yang dapat dipetik sebagai sebuah solusi yang kontekstual.

Kesemua hal di atas jika dikombinasikan dalam satu bahasa membutuhkan sebuah “konsesus” untuk kembali memformulasikan gagasan bersama dalam rangka memperkuat pondasi Organisasi Advokat. Kenapa penting? Karena Organisasi Advokat – lah dalam UU Advokat sebagai wadah profesi yang memiliki fungsi meningkatkan kualitas profesi Advokat. Artinya peningkatan kualitas profesi sangat ditentukan oleh Organisasi Advokat. Dengan demikian Advokat dapat menjalankan tugas profesi dengan berpegang teguh pada UU dan Kode Etik Advokat disertai dengan integritas dan penuh tanggungjawab.

Merujuk pada situasi di atas, Deklarasi Warung Daun (Cikini, Jakarta Pusat) menjadi sebuah jawaban untuk mengatasi pelbagai persoalan terkait Organisasi Advokat. Substansi yang dideklarasikan diawali pada 2015 dengan berkomitmen membangun standar pendidikan profesi kemudian diperkuat dengan Deklarasi pada 2017 yakni Satu Kode Etik dan Satu Dewan Kehormatan. Deklarasi Warung Daun penting ditindaklanjuti kembali oleh seluruh Organisasi Advokat guna memastikan fungsi Organisasi Advokat berjalan sebagaimana mestinya. Terlebih dari sisi legal, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil & Politik ke dalam UU No 12/2005 yang menegaskan bahwa kebebasan berserikat, berorganisasi, berpendapat adalah bagian dari HAM. Hal ini juga sudah ditegaskan dalam Konstitusi negara kita. Sehingga menjadi tidak relevan jika Organisasi Advokat dipusatkan pada satu wadah tunggal, karena hanya akan melahirkan potensi penyalahgunaan dalam pengelolaannya.

Pertanyaannya adalah, mampukah kita menyusun rencana strategis bersama untuk mewujudkan nilai dasar & prinsip Deklarasi Warung Daun menjadi nyata? Jawabannya kembali pada komitmen kita bersama, sejauh mana kita memiliki kesadaran & keyakinan untuk memperbaiki profesi Advokat sebagai profesi yang mulia officium nobile.

Sebagai sebuah alarm bersama kita lihat kondisi ketidakadilan yang masih terjadi di sekitar kita, penegakan hukum masih dirasakan belum maksimal, masyarakat pencari keadilan terus menanti penyelesaian yang bermartabat dari Advokat.

Pada akhirnya mari kita refleksikan kembali untuk apa profesi Advokat hadir di bumi. Sebagaimana UU Advokat dan Kode Etik Advokat adalah “membela HAM” Advokat tiada lain adalah The Guardian of Human Rights “Penjaga HAM.” Dengan demikian kita telah memberikan sebuah legacy yang baik bagi Advokat yang akan datang & setidak-tidaknya sejarah akan mencatat bahwa kita pernah bersama-sama berkontribusi positif untuk kebaikan profesi Advokat tempat di mana kita berpijak bersama!