Oleh M. Daud Beureuh
Seorang advokat itu bernama Munir, yang dibunuh dengan racun arsenik pada 7 September 2004 di udara dalam penerbangan pesawat tujuan Jakarta – Amsterdam ketika akan melanjutkan kuliah di Belanda.
Rekam jejaknya di dunia penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) telah menginspirasi banyak orang. Munir mulai menapaki kiprahnya dalam pendampingan hukum bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan hingga akhirnya mendirikan organisasi HAM bernama KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) pada Maret 1998.
Membela Hak-Hak Pekerja
Munir banyak melakukan pembelaan terhadap hak-hak pekerja. Salah satu kasus yang Fenomenal adalah pembunuhan terhadap Marsinah pada 1993, seorang pekerja perempuan yang aktif menyuarakan hak-hak pekerja melalui pelbagai unjuk rasa agar perusahaan memberikan kesejahteraan sebagaimana mestinya kepada para pekerja.
Kemudian pada 1998 bersama KontraS lembaga HAM yang ia dirikan, Munir terlibat aktif dalam melakukan advokasi atas peristiwa Pelanggaran HAM berat (korban rezim Orde Baru) mulai dari kasus Penculikan aktivis 1997-1998, penembakan mahasiswa di Trisakti, Semanggi 1998 & Semanggi II 1999, Tanjung Priok 1984, Talangsari Lampung 1989, Peristiwa kerusuhan Mei 1998, pelanggaran HAM di Aceh, Papua dan pelbagai peristiwa lainnya.
Kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah disuarakan oleh Munir mendapatkan simpati dan dukungan yang luar biasa baik ditingkat lokal, nasional hingga internasional. Mulai dari Kasus Penculikan aktivis 1997-1998 yang melibatkan aktor keamanan hingga Peristiwa Tanjung Priok 1984 dan Peristiwa Timor-Timur Pasca Jajak Pendapat tahun 1999 dibentuk Pengadilan HAM Ad Hoc melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahun 2004-2005 berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM dua peristiwa tersebut patut diduga peristiwa pelanggaran HAM yang berat sebagaimana Undang – Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Keberanian Munir
Keberanian Munir tumbuh dalam lingkungan keluarga dengan prinsip sederhana yang ditanamkan oleh Suciwati, istrinya : “risiko tertinggi bagi orang hidup adalah mati. Segalanya serba tak pasti salah hidup ini, satu-satunya yang pasti adalah kematian.”…
Dari prinsip sederhana ini-lah Munir memiliki keberanian dalam menegakkan hukum dan HAM ketika melakukan pembelaan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM. Kiprahnya dalam penegakan HAM menjadi pembelajaran penting bagi advokat. Sejatinya tugas advokat adalah memastikan terselenggaranya peradilan yang fair dan independen demi tegaknya hukum, kebenaran dan HAM.
“kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, memerlukan profesi Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia.” (Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat).
Oleh karenanya dibutuhkan keberanian dari seorang advokat dalam melakukan pembelaan terhadap klien. Tanpa keberanian dan integritas dari seorang advokat, penegakan hukum yang fair dan independen tidak akan berjalan sebagaimana mestinya karena akan dikalahkan oleh “mafia hukum.”
Advokat Pembela HAM
Seorang advokat harus memiliki pemahaman yang komprehensif tentang nilai-nilai HAM. Sebagaimana tugas dan fungsinya advokat tiada lain adalah membela HAM, sehingga seorang advokat harus memiliki kompetensi yang mumpuni sebelum melakukan pendampingan dan menghormati keragaman serta kemajemukan yang merupakan khazanah dan budaya bangsa.
Prinsip hidup bersama dalam keragaman, pluralisme dan toleransi sebagai modalitas persatuan bangsa Indonesia juga ditegaskan dalam tindakan dan perilaku seorang advokat yang tidak boleh menerapkan sikap diskriminasi dalam menjalankan tugas profesinya. “Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.” (Pasal 18 ayat 1 UU Advokat).
Nilai-nilai universalitas inilah yang telah Munir terapkan ketika melakukan pembelaan terhadap hak-hak masyarakat yang terpinggirkan. Jauh sebelum UU Advokat ada, Munir telah memberikan pembelajaran penting bagi advokat dalam melakukan pembelaan terhadap siapa pun yang mengalami ketidakadilan tanpa mengenal jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras dan atau latar belakang sosial dan budaya.
Pesan Munir lainnya yang paling penting adalah “kita harus lebih takut pada rasa takut itu sendiri, karena rasa takut akan menghilangkan akal sehat & kecerdasan kita.”
Kasus pembunuhan Munir masih misteri, aktor intelektualnya hingga kini masih belum terungkap. Meskipun Munir telah tiada, namun pemikiran-pemikiran Munir tidak akan pernah tiada. Dan akan selalu menjadi spirit bagi advokat untuk terus membela tegaknya hukum, HAM dan demokrasi di negeri kita tercinta tempat di mana kita berpijak bersama!