[Siaran Pers] PERADI Desak Reposisi Polri sebagai Bagian Utuh Kekuasaan Kehakiman

🗳️ Timbang Rekam Jejak, Pilih Dengan Bijak.

Cek nama anda di Daftar Pemilih Sementara (DPS) dan/atau Daftar Pemilih Sementara Cadangan (DPS Cadangan)

Dalam audiensi resmi dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri pada 9 Desember 2025, Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) menegaskan bahwa penyelidikan dan penyidikan yang dijalankan Polri harus dinormakan sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman. Ketua Umum DPN PERADI, Dr.Luhut MP Pangaribuan, S.H.,LL.M. yang diwakili oleh Muhamad Daud Berueh (Wakil Sekretaris Jenderal DPN PERADI) yang membacakan langsung masukan PERADI kepada Komisi Percepatan Reformasi Polri.

Polri Harus Masuk ke Ranah Kehakiman, Bukan Sekadar Instrumen Administratif Negara

Dalam pertemuan tersebut, PERADI menyampaikan posisi tegas bahwa Indonesia tidak akan pernah memiliki sistem peradilan pidana yang demokratis dan akuntabel jika fungsi penyidikan tetap diperlakukan sebagai perpanjangan tangan tugas administratif kepolisian. Menurut PERADI, penyidikan adalah fungsi yudisial, bukan sekadar turunan tugas keamanan dalam negeri.

“Penyidikan itu bukan urusan administratif. Itu bagian dari kekuasaan kehakiman. Dan selama Polri tidak ditempatkan dalam arsitektur peradilan terpadu yang diperintahkan UUD 1945, keadilan tidak akan pernah berdiri tegak,” tegas Dr. Luhut.

Ia menambahkan, “Seluruh sub-sistem penegakan hukum harus setara. Jaksa, polisi, advokat—semuanya menjalankan fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Jika salah satunya berada di luar orbit itu, maka sistemnya timpang. Itulah masalah kita hari ini.”

Usulan ini diperkuat dengan temuan riset diagnosis Setara Institute: bahwa Polri menghadapi 130 persoalan serius dalam integritas, responsivitas pelayanan publik, hingga efektivitas penegakan hukum. PERADI menilai masalah tersebut hanya dapat diperbaiki melalui reformasi struktural, bukan sekadar kosmetik birokrasi.

UU Polri Dinilai Tidak Sejalan dengan Konstitusi: Saatnya Redesign Total Fungsi Penyidikan

PERADI menilai norma dalam UU Kepolisian saat ini menempatkan penyidikan sebagai jabatan teknis untuk membantu tugas pokok kepolisian di bidang keamanan, bukan sebagai fungsi kehakiman. Hal ini dianggap bertentangan dengan Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 38 UU Kekuasaan Kehakiman yang secara eksplisit memasukkan penyelidikan dan penyidikan ke dalam domain kekuasaan kehakiman.

“Ini persoalan konstitusional. Tidak bisa dibiarkan Polri menjalankan fungsi yang bersinggungan langsung dengan hak asasi manusia, tetapi tidak berada dalam arsitektur kehakiman yang independen,” ujar Luhut. “Jika penyidikan masih berada di bawah logika ‘keamanan dalam negeri’, maka penyalahgunaan kewenangan akan terus berulang.”

Polisi Yudisial: Model Baru untuk Menutup Celah Diskresi Berlebih

Sebagai solusi, PERADI mengusulkan agar penyidik Polri direposisi sebagai polisi yudisial, model yang telah lama diterapkan di negara-negara civil law seperti Prancis (police judiciaire) dan Belanda (gerechtelijke politie). Dengan konsep ini, penyidikan tidak lagi menjadi wilayah diskresi yang luas, tetapi tunduk pada kontrol yudisial dan akuntabilitas yang ketat.

“Kita harus mengakhiri budaya diskresi tanpa batas. Polisi yudisial adalah jalan agar penyidikan dikembalikan kepada prinsip-prinsip peradilan yang bersih, berwibawa, dan dapat dipercaya publik,” kata Luhut. “Sudah saatnya Indonesia meninggalkan pola lama yang menempatkan Polri sebagai pemegang kunci tunggal proses pidana tanpa pengawasan yang memadai.”

PERADI juga menegaskan bahwa langkah ini adalah kelanjutan dari konsep integrated criminal justice system yang mulai diperkenalkan melalui Hakim Pengawas dan Pengamat (Hakim Wasmat) dalam KUHAP 1981 dan dipertegas kembali oleh amanat konstitusi.

Reformasi Polri Tidak Boleh Setengah Hati

PERADI menegaskan bahwa reformasi Polri hanya akan bermakna jika dilakukan melalui rekonstruksi konstitusional yang selaras dengan UUD 1945, khususnya dalam menegakkan prinsip peradilan terpadu. Reposisi Polri sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman menjadi syarat mutlak.

“Kita tidak butuh reformasi simbolik. Kita butuh reformasi struktural. Dan struktur pertama yang harus dibenahi adalah menempatkan Polri ke dalam orbit kekuasaan kehakiman. Di situlah masa depan penegakan hukum Indonesia,” pungkas Dr. Luhut.

Unduh Rekomendasi PERADI

📢 Bergabung dengan Kanal Resmi PERADI:

📣 WhatsApp Channel: Klik di sini
📡 Telegram Channel: Klik di sini
🎵 TikTok: Klik di sini
📸 Instagram (DPN PERADI): Klik di sini
📸 Instagram (Munas PERADI): Klik di sini
💼 LinkedIn: Klik di sini