Mengkritisi Upaya Paksa dalam RUU KUHAP

Oleh: Dr. Luhut M.P. Pangaribuan, S.H., LL.M.,  Ketua Umum DPN PERADI & Akademisi FH UI

Dalam kolom opini terbaru di Hukumonline, Dr. Luhut M.P. Pangaribuan menyoroti dugaan melemahnya mekanisme pengawasan atas upaya paksa dalam draft RUU KUHAP yang tengah dibahas DPR.

Diharapkan RUU KUHAP yang akan disetujui DPR RI segala bentuk upaya paksa yang merampas kemerdekaan, seperti penetapan tersangka, penggeledahan, penahanan, penyitaan, harus tunduk pada konsep judicial scrutiny.

Bagaimana caranya, mudah cukup kembalikan saja pada konsep praperadilan sesuai konsep habeas corpus. Sebab, setelah 44 tahun sejak berlakunya KUHAP Tahun 1981 diundangkan, polisi pasti sudah siap. Dengan konsep ini, penyidik sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka apalagi akan menahannya, maka harus dibawa pada hakim praperadilan dulu. Apakah kedua alat bukti yang dijadikan dasar menetapkan status tersangka itu apakah “sah dan meyakinkan atau tidak”. Apabila hakim menyatakan sah, maka bila kemudian akan ditahan perlu ada “hearing” terlebih dahulu karena ini tentang HAM dan konstitusional.

Selain ditahan, apakah bisa diberikan bail (melepaskan dari tahahan), tidak dilanjutkan penahanan karena ada jaminan (tidak mengulangi tindak pidana, menghilangkan barang bukti, melarikan diri). Atau kalau tetap akan ditahan, bagaimana bentuknya: apakah tahanan kota, rumah, dan bukan Rutan. Dengan demikian, ada due process of law atas upaya paksa penahanan ini untuk menghormati HAM in casuInternational Covenant on Civil and Political Rihgts, yang telah diratifikasi dengan UU No. 12 Tahun 2005.

Dengan kata lain, upaya paksa nanti tidak hanya berdasarkan penetapan sendiri (diskresioner) penyidik. Tapi tunduk pada konsep judicial scrutiny, konkritkan praperadilan difungsikan sebagi judicial scrutiny. Untuk itu, diharapkan dalam RUU KUHAP disetujui DPR RI bahwa segala bentuk upaya paksa yang merampas kemerdekaan, seperti penetapan tersangka, penggeledehan, penahanan, penyitaan tunduk pada konsep judicial scrutiny.(segala upaya paksa harus melibatkan pengawasan pengadilan, red).

Sistem Peradilan Terpadu

Sebagai tambahan, menurut UUD Tahun 1945 seharusnya konsep RUU KUHAP ini untuk penataan menjadi sistem peradilan terpadu. Sebab, UUD Tahun 1945 menghendaki penataan sistem peradilan dengan “Sistem Peradilan Terpadu” dari semua kewenangan dari fungsi yang berkaitan kekuasaan kehakiman. Ini adalah constitutional imperative.

Membaca draft RUU KUHAP jelas belum seperti KUHP yang telah menjanjikan hukum acara yang ”unifikasi dan kodifikasi”. Sebab, UU sektoral (terkait hukum acara, red) masing-masing peradilan masih akan tetap exist dan berlaku. Hal ini janji yang tidak ditepati KUHAP Tahun 1981 sebagai alasan lain mencopot gelar masterpiece KUHAP itu oleh masyarakat. Untuk itu, hal ini seharusnya tidak akan terjadi pada RUU KUHAP.

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) ini adalah pelaksanaan dari Pasal 24 ayat (3) UUD Tahun 1945. Dalam UUD Tahun 1945 dinyatakan ada “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.” Kemudian, dalam UU Kekuasaan Kehakiman hal ini dilanjutkan pada bagian pertimbangan huruf b “bahwa untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa perlu dilakukan penataan sistem peradilan yang terpadu.”

Siapakah fungsi lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman itu, Pasal 38 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman ialah “antara lain kepolisian, kejaksaan, advokat, dan lembaga pemasyarakatan.” Fungsi itu untuk a. penyelidikan dan penyidikan; b. penuntutan; c. pelaksanaan putusan; d. pemberian jasa hukum; dan e. penyelesaian sengketa di luar pengadilan.” (Pasal 38 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman).

Dengan begitu, berbagai fungsi yang akan diatur dalam RUU KUHAP adalah bagian dari kekuasaan kehakiman. Fungsi itu mulai dari penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pelaksanaan putusan, pemberian jasa hukum, dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Berdasarkan pada norma konstitusional itu, RUU KUHAP harus merupakan keterpaduan sistem peradilan dan sekaligus penghormatan pada HAM, tidak hanya sekadar hukum acara untuk keadilan prosedural, tapi juga keadilan substansial, red). Apalagi untuk melanggengkan dominasi pada sistem itu.

Sumber Referensi: https://www.hukumonline.com/berita/a/mengkritisi-upaya-paksa-dalam-ruu-kuhap-lt687f400ab20ba?page=3

 


Discover more from PERADI

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Discover more from PERADI

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading