Dalam upaya memperluas akses keadilan hingga ke tingkat paling dasar pemerintahan, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menggelar diskusi terbatas bertema “Optimalisasi Pro Bono pada Layanan Pos Bantuan Hukum (Posbankum) Desa”. Rapat yang berlangsung di Jakarta ini menjadi forum penting bagi pemangku kepentingan, termasuk organisasi advokat, dalam merumuskan arah kebijakan bantuan hukum yang lebih inklusif.
Rencana Pemerintah Dirancang Inklusif
Diskusi dibuka oleh Kepala BPHN, Min Usihen, S.H., M.H., bersama Kepala Pusat Pembudayaan dan Bantuan Hukum, Constantinus Kristomo. Pemerintah, melalui BPHN, merencanakan pembentukan Posbankum di setiap desa atau kelurahan di Indonesia. Targetnya, setidaknya satu Posbankum hadir di setiap kecamatan untuk melayani masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum.
Model layanan ini mencakup bantuan hukum litigasi dan non-litigasi. Untuk layanan non-litigasi, peran paralegal dari komunitas desa dan organisasi bantuan hukum akan menjadi ujung tombak. Sementara itu, layanan litigasi akan dijalankan oleh advokat yang tergabung dalam organisasi bantuan hukum atau cabang organisasi advokat di daerah, baik secara pro bono maupun berbayar.
PERADI Tegaskan Dukungan dengan Catatan
Dewan Pimpinan Nasional PERADI, yang diundang dalam rapat ini, diwakili oleh Ketua Bidang Pro Bono dan Bantuan Hukum, Febi Yonesta, S.H., menggantikan Ketua Umum DPN PERADI, Dr. Luhut MP Pangaribuan, S.H., LL.M. Dalam pemaparannya, PERADI menyampaikan dukungan atas inisiatif Pemerintah, namun menggarisbawahi beberapa catatan penting yang harus dipertimbangkan agar pelaksanaan Posbankum Desa berjalan efektif dan berkelanjutan.
Pertama, pentingnya menyamakan persepsi mengenai definisi pro bono. PERADI menekankan bahwa pro bono tidak boleh disamakan begitu saja dengan bantuan hukum yang bersubsidi dari negara, karena keduanya memiliki cakupan dan mekanisme berbeda.
Kedua, perlu adanya penetapan kriteria yang jelas terhadap penerima manfaat. Tidak semua penerima harus masuk dalam kategori miskin absolut; banyak warga yang tidak tergolong miskin tetapi tetap kesulitan memenuhi biaya jasa hukum.
Ketiga, PERADI mengusulkan pembentukan mekanisme manajemen kasus yang mencakup proses penerimaan, asesmen kelayakan, distribusi kasus, dokumentasi, hingga supervisi berkelanjutan.
Jaminan Kualitas, Pengawasan, dan Apresiasi
Lebih jauh, PERADI juga menekankan perlunya standar layanan pro bono yang bertanggung jawab dan terukur, agar kualitas pendampingan hukum tidak diabaikan. Fungsi pengawasan juga harus diperkuat, baik dari sisi penerima manfaat maupun dari dalam organisasi advokat sendiri.
Yang tak kalah penting, PERADI mendorong adanya sistem penghargaan atau insentif bagi advokat dan organisasi yang aktif memberikan layanan pro bono di Posbankum. Pengakuan atas kontribusi ini diyakini akan memperkuat budaya pelayanan hukum berbasis pengabdian sosial.
Menuju Akses Keadilan yang Lebih Luas
Diskusi ini menjadi momentum strategis untuk menyelaraskan visi dan peran seluruh pihak dalam memperluas akses terhadap keadilan hukum di Indonesia, terutama di tingkat akar rumput. Posbankum Desa diharapkan tidak hanya menjadi simbol kehadiran hukum di desa, tetapi juga sebagai mekanisme nyata dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat secara merata dan adil.
PERADI menegaskan kembali komitmennya untuk terus terlibat dalam pembangunan sistem bantuan hukum nasional yang kredibel, terukur, dan berpihak kepada masyarakat.
Discover more from PERADI
Subscribe to get the latest posts sent to your email.