Wacana revisi Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia kembali menuai sorotan publik. Dalam rangka merespons perkembangan tersebut, Kompartemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) bekerja sama dengan Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana (PERSADA UB) menggelar Focus Group Discussion (FGD) di Grand Mercure Mirama Malang.
FGD ini menghadirkan tokoh-tokoh penting di bidang hukum, termasuk Imam Hidayat, S.H., M.H., (Sekretaris Jenderal DPN PERADI), dan Laksda Purn. TNI Soleman B. Ponto, S.T., S.H., M.H., (Dewan Pakar DPN PERADI), untuk memberikan masukan terhadap rencana revisi UU Polri yang menuai pro dan kontra.
Revisi Terlalu Tergesa? Suara dari Akademisi dan Praktisi
Menurut Solehuddin, S.H., M.H., Koordinator Kompartemen Hukum Pidana FH UB, proses revisi UU Polri yang sedang bergulir terkesan terburu-buru dan tidak memperhatikan aspek fundamental penegakan hukum. Ia menegaskan bahwa revisi semestinya dilakukan secara mendalam dan menyeluruh, agar dapat memperkuat sistem peradilan pidana, bukan justru melemahkannya.
Perubahan Narasi: Dari Memelihara ke Mewujudkan Keamanan
Dalam paparannya, Soleman B. Ponto mengkritisi perubahan redaksi dalam RUU Polri. Jika dalam UU yang berlaku Polri disebutkan bertugas “menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat”, dalam RUU yang baru terdapat perubahan menjadi “mewujudkan keamanan nasional.”
“Memelihara artinya menjaga yang sudah ada. Tapi mewujudkan, seolah-olah masyarakat belum aman, dan semua dianggap berpotensi mengancam. Ini membuka celah tindakan represif yang kontraproduktif dengan prinsip negara hukum,” jelasnya.
Pernyataan ini menyoroti potensi penyalahgunaan kekuasaan dan menurunnya rasa aman warga negara ketika kewenangan Polri diperluas tanpa kontrol dan batas yang jelas.
PERADI: Polri Harus Humanis, Bukan Represif
Sekjen DPN PERADI, Imam Hidayat, menyatakan bahwa arah revisi UU Polri seharusnya menguatkan aspek pelayanan publik. Ia menekankan pentingnya Polri yang melindungi, mengayomi, dan hadir secara humanis, bukan justru memperluas kewenangan yang berisiko disalahgunakan.
“Penambahan kewenangan seperti penyadapan dan penangkapan tanpa kontrol ketat justru dapat memperparah ketidakpercayaan publik. Kita sudah melihat dampaknya pada penanganan kasus-kasus besar, seperti Tragedi Kanjuruhan yang hingga kini belum menghadirkan keadilan bagi para korban,” ungkap Imam.
Menurutnya, dalam negara hukum, penegakan hukum harus berpijak pada prinsip keadilan dan akuntabilitas, bukan sekadar penegakan kekuasaan.
Menjaga Hukum Tetap Berpihak pada Rakyat
Diskusi ini menjadi pengingat bahwa setiap langkah perubahan perundang-undangan, terutama yang berkaitan dengan aparat penegak hukum, harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian. Advokat sebagai bagian dari sistem peradilan pidana, memiliki kewajiban moral untuk mengawal proses legislasi agar tetap berpihak kepada hak-hak warga negara.
PERADI melalui Dewan Pimpinan Nasional menegaskan komitmennya untuk terus mengawal jalannya demokrasi dan memastikan aparat penegak hukum tetap berada dalam rel konstitusi. RUU Polri harus menjawab kebutuhan rakyat, bukan kepentingan kekuasaan.
Discover more from PERADI
Subscribe to get the latest posts sent to your email.