Dalam penutupan Konferensi Hukum i-Clave ke-5, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI), Dr. Luhut M.P. Pangaribuan, S.H., LL.M., menyampaikan keynote speech yang menggugah kesadaran bersama tentang pentingnya evaluasi sistem pendidikan hukum menjelang satu abad keberadaannya di Indonesia. Pidato penutup yang disampaikan di tanah kelahirannya, Balige, Sumatera Utara, itu menjadi ajakan reflektif sekaligus strategis bagi semua pemangku kepentingan di bidang hukum.
Menyambut 100 Tahun Pendidikan Hukum: Saatnya Melihat ke Cermin
Dr. Luhut menekankan bahwa peringatan 100 tahun pendidikan hukum di Indonesia pada tahun depan harus menjadi titik tolak untuk mengevaluasi kualitas pendidikan hukum nasional. Apakah lulusan sarjana hukum saat ini sudah lebih unggul dibandingkan lulusan Meester in de Rechten (MR) dari zaman Hindia Belanda? Kesan bahwa lulusan MR lebih berkualitas memang belum bisa dipastikan secara empiris, namun hal tersebut seharusnya menjadi motivasi untuk terus memperbaiki kualitas lulusan sarjana hukum melalui inovasi dan keterbukaan terhadap perubahan zaman.
Simbiose Mutualistis Antara Fakultas Hukum dan Profesi Advokat
Ketua Umum PERADI menyoroti perlunya komunikasi timbal balik antara dunia akademik dan dunia praktik hukum. Menurutnya, hubungan antara fakultas hukum dan profesi advokat saat ini masih terlalu dangkal jika hanya sebatas kerja sama penyelenggaraan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA). Harus ada pelembagaan komunikasi dan pertukaran pengetahuan secara lebih sistematis, termasuk menyusun kurikulum yang responsif terhadap kebutuhan praktis di lapangan.
Dr. Luhut mencontohkan negara-negara lain yang secara rutin menjalin komunikasi antara fakultas hukum dan organisasi profesi hukum untuk menyempurnakan kurikulum dan metode pengajaran hukum.
Menghadapi Disrupsi Teknologi dan Artificial Intelligence
Dalam pidatonya, Dr. Luhut mengajak seluruh komunitas hukum untuk menyikapi secara serius disrupsi teknologi informasi dan kecerdasan artifisial. Perkembangan ini telah mengubah cara kerja advokat dan dunia hukum secara menyeluruh. Mesin pencari hukum berbasis AI sudah mampu menyusun legal opinion secara cepat dan presisi, sementara metode pengajaran hukum masih belum beranjak jauh dari pendekatan tradisional.
Ia menegaskan bahwa perubahan tidak bisa dihindari. Pendidikan dan praktik hukum harus beradaptasi. Legal reasoning, logika hukum, komposisi argumentasi dan silogisme perlu diajarkan secara intensif, bahkan lebih serius lagi diintegrasikan dengan pemanfaatan teknologi informasi dan kecerdasan buatan.
Dari PKPA ke Kolaborasi Inovatif
PERADI tidak menolak kerja sama dalam bentuk PKPA, tetapi Ketua Umum DPN PERADI berharap kolaborasi yang dijalin dapat berkembang lebih jauh dari sekadar kebutuhan administratif. Ia mengkritisi wacana menjadikan Advokat sebagai program studi tersendiri demi mendapatkan gelar “M.A.D.”, yang menurutnya justru berisiko terjebak dalam semangat formalisme belaka.
Yang lebih penting, kata Dr. Luhut, adalah memperkuat kapasitas lulusan hukum agar mampu berperan secara luas, baik di ranah publik, politik, pemerintahan maupun profesi, sesuai dengan tantangan demokrasi dan kebutuhan hukum masyarakat masa kini.
Hukum di Era Dunia yang “Datar”
Pidato ini juga menyoroti era globalisasi dan dunia yang semakin “datar”, di mana batas geografis dan institusional semakin kabur. Dengan masyarakat dunia yang makin terkoneksi, para pelaku hukum di Indonesia harus bersiap menghadapi tantangan yang datang dari segala arah—baik dari sisi substantif maupun teknologi.
Menurut Dr. Luhut, pengajaran dan praktik hukum perlu dilakukan secara kolaboratif, menciptakan simbiose mutualistis dalam menghadapi tantangan masa depan. Ia juga menyoroti pentingnya publikasi ilmiah bereputasi internasional sebagai tolok ukur kontribusi akademisi dalam pembangunan sistem hukum yang adaptif.
Dari Balige untuk Hukum Indonesia
Mengakhiri pidatonya, Dr. Luhut menyampaikan apresiasi atas pemilihan Danau Toba, khususnya Balige sebagai lokasi konferensi. Ia menyebut lokasi ini tidak hanya sarat makna budaya dan keindahan alam, tetapi juga menjadi wujud dari semangat desentralisasi pengetahuan dan pemerataan manfaat ekonomi melalui kegiatan ilmiah.
Dengan mengusung semangat “Law, Justice and the Law School towards 100 Years of Legal Education in Indonesia”, i-Clave ke-5 bukan hanya menjadi ruang diskusi, tetapi juga tonggak awal bagi pembaruan pendidikan hukum di Indonesia. Advokat dan akademisi harus berjalan bersama, karena teori dan praktik hanya akan bermakna jika keduanya saling memperkuat.
Discover more from PERADI
Subscribe to get the latest posts sent to your email.