Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Sejarah Advokat Indonesia dan Tokoh-Tokohnya Dalam Memperjuangkan Rule of Law”. FGD ini dilaksanakan di LMPP Building, lantai 1. Sebagai narasumber, DPN PERADI mengundang Prof. Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H., anggota Dewan Penasehat DPN PERADI, sebagai pemateri dalam FGD.

“Sekarang ini kita menghadapi RUU advokat yang akan datang dalam rangka memperkaya pemahan informasi kita maka penting Pak Frans memberikan pengalaman, pikiran dan pendapatnya, supaya kita bisa kedepan memproyeksikan dan menata organisasi advokat yang lebih baik lagi.” ujar Luhut M.P. Pangaribuan, Ketua Umum DPN PERADI, Selasa (16/8/2022).

Dalam pemaparannya Frans menyampaikan maksud dan tujuan dari diskusi hari ini adalah agar advokat memahami sejarah advokat dan tokoh advokat yg dapat dijadikan acuan dalam menajalankan profesinya serta sejarah terbentuknya PERADI.

“Maksud dan tujuan dari diskusi hari ini adalah adanya pengetahuan dan pemahaman yang komprehensif tentang sejarah advokat dan para tokoh advokat di Indonesia dalam memperjuangkan rule of law serta adanya pembelajaran positif dari pengalaman tokoh advokat Indonesia yang dapat dijadikan acuan bagi advokat saat ini, baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam lingkup peranannya sebagai pengurus Organisasi Advokat.” jelasnya

“Dilihat dari sejarahnya Organisasi advokat dari dulu tidak bisa bersatu, dan kita kayaknya tidak bisa bersatu lagi, secara alami kita memang begitu. Berdasarkan fakta yang terjadi saat itu, 8 organisasi advokat secara inisiatif berkumpul dan pada 21 Desember 2004 dideklarasikan terbentuknya Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). Pada perkembangannya keabsahan lahirnya PERADI dipertanyakan. Oleh karena pembentukan PERADI tidak melalui kongres nasional yang terbuka yang dihadiri oleh para advokat untuk memilih pengurusnya melalui one man one vote dimana hal tersebut juga sangat ditentang oleh Alm. Prof. Dr. H. Adnan Buyung Nasution.” Tambah Frans

Menurut Frans, bentuk organisasi advokat baik single bar ataupun multi bar harus kembali pada pilihan dari para advokat itu sendiri dan bukan didikte oleh pemerintah.

“Yang paling penting menurut saya apakah single bar atu multi bar harus ada pilihan dari pada advokat itu sendiri bukan kemauan pemerintah. Sampai sekarang saya tidak tahu arahnya kemana.” ungkap Frans

Frans juga menambahkan bahwa Advokat bukanlah penegak hukum meski berada dalam lingkup kekuasaan kehakiman dan tidak mempunyai kewenangan menangkap dan menahan.

“Sebetulnya kita tidak bisa disebut sebagai penegak hukum karena advokat sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman atau magistraat atau officer of the court yang berada dibawah kekuasaan kehakiman sesuai dengan Pasal 24 UUD 1945 dan tidak mempunyai Police Power, yaitu kewenangan menangkap (to detain) dan menahan (to arrest). Advokat ini membela bukan penegak hukum.” lanjut Frans lagi

Luhut menjelaskan bahwa UUD 1945 adalah merupakan titik tolak pertama yang mendefinisikan tentang kekuasaan kehakiman dan advokat merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman tapi tidak direfleksikan. Namun penyebutan advokat sebagai penegak hukum adalah baik karena maksudnya advokat setara dengan penegak hukum yang lain.

“Mahkamah Konstitusi mengakui bahwa OA adalah State Organ yg diperluas dan sifatnya independen, kalau dibaca Undang-Undang Advokat sama sekali tidak direfleksikan. Maka dari itu UUD 1945 itu harus menjadi titik tolak pertama yang mendefinisikan tentang kekuasaan kehakiman jadi dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dan badan- badan lain menurut UU.” ujar Luhut

“Berkaitan dengan Advokat sebagai penegak hukum saya kira itu baik dipakai supaya lebih kuat lagi, karena dalam penjelasannya disebutkan maksudnya bahwa advokat itu setara dengan penegak hukum yang lain.” pungkas Luhut