Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) menegaskan komitmennya terhadap reformasi sektor peradilan dan perlindungan kelompok rentan dengan menghadiri kegiatan diseminasi yang diselenggarakan oleh Indonesian Judicial Reform Society (IJRS). Bertempat di Artotel Gelora Senayan, Jakarta, acara ini membahas hasil riset tentang beban ekonomi dan sosial dari kejahatan narkotika, sekaligus mendorong kebijakan penegakan hukum yang lebih berkeadilan.
Sorotan terhadap Biaya Penanganan Kejahatan Narkotika
Dalam diskusi ini, PERADI diwakili oleh Indah Maya Rosanty, S.H., M.H., anggota Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak DPN PERADI. Ia bergabung bersama para praktisi hukum, akademisi, dan lembaga pemerintah dalam menyimak hasil studi terbaru IJRS yang memetakan kompleksitas biaya kejahatan narkotika di Indonesia.
Penelitian tersebut mencatat bahwa pada tahun 2023, negara diperkirakan telah mengeluarkan biaya hingga Rp11,75 triliun untuk penanganan perkara narkotika. Biaya tersebut mencakup beban langsung (biaya proses hukum, pemasyarakatan, rehabilitasi) serta biaya tidak langsung seperti kehilangan produktivitas dan peluang ekonomi masyarakat. Kendati bersifat sementara, data ini memperlihatkan urgensi reformasi sistem peradilan pidana narkotika yang tidak hanya menekan angka kriminalisasi, tetapi juga mengurangi beban negara.
Rehabilitasi dan Keadilan Restoratif sebagai Jalan Tengah
Beberapa narasumber dalam diseminasi tersebut menyampaikan berbagai pendekatan alternatif dalam menangani perkara narkotika. Kejaksaan Agung, misalnya, telah menginisiasi program rehabilitasi medis dan sosial di daerah melalui balai rehabilitasi. Pengadilan Negeri Jakarta Timur menyoroti perlunya melibatkan tokoh masyarakat dan tenaga medis dalam proses peradilan untuk memperoleh pemahaman utuh atas kasus-kasus pengguna narkotika.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan menambahkan bahwa rehabilitasi yang dilakukan di dalam lembaga pemasyarakatan perlu didukung oleh layanan pasca-rehabilitasi yang memadai, termasuk melalui Balai Pemasyarakatan (Bapas). Namun, keterbatasan dana dan fasilitas seperti BPJS masih menjadi tantangan besar di lapangan.
Dalam perspektif kebijakan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyarankan penerapan Restorative Justice untuk perkara pengguna narkotika sebagai langkah efektif untuk mengurangi biaya pemidanaan dan menghindari kriminalisasi terhadap korban.
Sikap Pemerintah dan Peran PERADI
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) menegaskan bahwa pemerintah sedang menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Restorative Justice yang akan memperkuat pendekatan pemulihan bagi korban narkotika. Komitmen ini diharapkan dapat menjadi pijakan hukum yang lebih adil dan efisien dalam menangani perkara narkotika, sekaligus meminimalkan dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan.
Dalam konteks ini, kehadiran PERADI menjadi sangat penting sebagai bagian dari komunitas hukum yang memiliki peran strategis dalam mendorong reformasi sistem peradilan pidana. Advokat, sebagai garda terdepan dalam pendampingan hukum, perlu dibekali dengan perspektif yang adil terhadap pengguna narkotika, serta mendukung pendekatan berbasis rehabilitasi dan keadilan restoratif.
Mendorong Keadilan yang Lebih Manusiawi
Kegiatan diseminasi ini membuka ruang dialog yang konstruktif tentang perlunya perubahan paradigma dalam menanggulangi kejahatan narkotika. Biaya yang sangat besar, baik dalam bentuk keuangan maupun sosial, menunjukkan bahwa sistem lama berbasis pemidanaan semata tidak cukup.
PERADI terus mendorong agar sistem hukum di Indonesia dapat berkembang ke arah yang lebih manusiawi dan adil. Dengan keterlibatan aktif dalam forum-forum seperti ini, PERADI menunjukkan komitmennya terhadap advokasi hukum yang inklusif, berorientasi pada keadilan, serta berpihak pada perlindungan kelompok rentan — termasuk perempuan, anak, dan korban penyalahgunaan narkotika.
Discover more from PERADI
Subscribe to get the latest posts sent to your email.