PERADI Soroti Kontroversi RKUHP: Antara Over Criminalization dan Minimnya Semangat Dekolonisasi

Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang telah berlangsung sejak 2015 terus memicu kontroversi. Meskipun sempat ditunda pengesahannya oleh pemerintah, naskah RKUHP yang diserahkan ke DPR pada 4 Juli 2022 masih memuat sejumlah pasal yang menjadi polemik luas di tengah masyarakat.

Salah satu sorotan tajam terhadap RKUHP datang dari Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) melalui Ketua Umumnya, Dr. Luhut M.P. Pangaribuan, S.H., LL.M., dalam sebuah webinar yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Trisakti.

Apresiasi dan Catatan Kritis: Advokat Curang dan Contempt of Court

Luhut menyampaikan apresiasi terhadap langkah pemerintah yang mencabut ketentuan mengenai “advokat curang” dalam draf RKUHP. Namun, ia menilai bahwa ketentuan terkait contempt of court (penghinaan terhadap pengadilan) masih bermasalah.

“Ketentuan mengenai tindak pidana terhadap proses peradilan ini tidak mencerminkan keseimbangan. Tidak ada penekanan terhadap contempt of power,” tegas Luhut.

Artinya, ada ketimpangan dalam perlindungan proses hukum yang hanya melindungi lembaga, tanpa memperhitungkan potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparatur penegak hukum itu sendiri.

RKUHP: Arus Balik dari Prinsip Ultimum Remedium

PERADI juga menyoroti kesan bahwa RKUHP justru melakukan over criminalization—yakni terlalu mudah mempidanakan berbagai tindakan, bahkan yang bersifat privat atau ekspresi sipil.

“Hukum pidana mestinya menjadi ultimum remedium, atau upaya terakhir. Tapi dalam RKUHP, justru terlihat sebagai arus balik. Ini sangat disayangkan,” kata Luhut.

Kritik dari Masyarakat Sipil: Represif dan Minim Partisipasi

Lebih lanjut, Luhut mengutip kritik dari lembaga masyarakat sipil seperti ELSAM, yang menyatakan bahwa RKUHP menjadi instrumen kontrol sosial negara, bukan instrumen perlindungan hak asasi manusia.

“RKUHP seolah menjadi alat negara yang hegemonik dan represif. Pilihan hukuman penjara masih dominan. Ini bertentangan dengan semangat dekolonisasi yang seharusnya menjadi misi utama pembaruan KUHP,” ujarnya.

Ia juga menyinggung hasil survei Kompas yang menyebutkan dua alasan utama penolakan masyarakat terhadap RKUHP, yaitu:

  1. Adanya pasal-pasal yang dianggap mengganjal logika keadilan.

  2. Perasaan tidak dilibatkan dalam proses perancangan regulasi tersebut.

PERADI Beri Masukan dan Dorong Revisi Terbuka

Sebagai bagian dari profesi penegak hukum, PERADI telah menyampaikan masukan resmi secara tertulis dan lisan kepada pemerintah dan DPR. Luhut menegaskan bahwa kontroversi terhadap RKUHP harus dilihat sebagai momen penting untuk melakukan koreksi substantif.

“Kontroversi akan selalu ada. Tapi hal itu justru menjadi pintu masuk untuk membuka ruang perbaikan yang lebih luas. Agar hukum tidak hanya bisa dipahami oleh elit hukum, tapi juga dimengerti oleh masyarakat luas,” tutup Luhut.


Discover more from PERADI

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Discover more from PERADI

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading