Keynote Speech (Closing) Pada i-Clave ke 5 di Balige, Toba, Sumut.

Oleh Dr. Luhut M.P Pangaribuan, SH., LL.M

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (“PERADI”)

 

Pertama-tama terima kasih atas kesempatan ini. Sebagai praktisi (advokat) saya diminta memberikan keynote speech penutup dalam acara konferensi i-Clave ke 5 ini adalah satu kehormatan. Saya sebagai ketua Umum DPN Peradi dan segenap advokat Peradi menyampaikan salam dan rasa terimakasih karena merasa terhormat atas kesempatan ini di hadapan para akademisi hukum yang telah membahas bagaimana kemajuan hukum setelah seratus tahun pendidikan hukum di Indonesia tahun depan. Sebagai advokat kami juga peduli bagaimana hukum kita yang lebih baik ke depan, termasuk pendidikan selain praktek. Mengapa kami peduli karena teori dan praktek ada dalam hubungan yang saling mengisi (simbiose mutualistis). Dengan kehadiran saya sebagai Ketua Umum PERADI dalam kesempatan ini menunjukkan akan adanya kesadaran pentingnya hubungan yang saling mengisi dan menguatkan itu.

Khususnya dalam momentum menjelang peringatan 100 tahun pendidikan hukum di Indonesia adalah waktu yang tepat melakukan evaluasi. Bagaimana dan sudah dimanakah hukum kita sekarang ini apalagi bila dikaitkan dengan disrupsi teknologi informasi dan kecerdasan artifisial. Tentunya perkembangan di segala bidang termasuk dengan dahsyatnya disrupsi yang terjadi karena perkembangan teknologi informasi dengan internet of things dan artificial intelligence (AI) harus menjadi paradigma dalam membangun hukum ke depan. Mesin pencari data itu misalnya telah memudahkan untuk melakukan penelusuran data hukum secara cepat, tepat dan lengkap. Oleh karena kemajuan bidang ini maka para sarjana hukum akademisi ataupun praktisi menjadi dimudahkan dalam melakukan penelitian hukum dan atau membuat legal opinion oleh advokat.

Bagaimana respon fakultas hukum dan profesi advokat atas perkembangan itu sejauh ini, apakah ada juga perubahan yang inovatif bersamaan dengan kemajuan di atas. Apakah ada komunikasi timbal balik secara institusional, antara fakultas dan profesi advokat. Atau apakah masih sebatas kerjasama menyelenggarakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat sebagai prasyarat untuk dapat diangkat menjadi Advokat? Apabila sebatas itu maka kerjasama timbal balik itu belum berdampak apapun sebagai respon atas kemajuan yang dikonstatasi di atas.

Melihat pengalaman negara lain nampaknya sudah lebih jauh, pendidikan tinggi selalu bertanya kepada profesi Advokat bagaimanakah teori yang dipelajari selama di fakultas hukum dan apakah ada masukan lebih lanjut kepada materi pendidikan hukum yang akan diajarkan di fakultas hukum? Saya sebagai Ketua Umum PERADI bahkan belum pernah mendengar pertanyaan ini. Padahal hemat saya itu sangat baik dan produktif untuk merespon secara positif perubahan itu.

Apabila jawaban atas pertanyaan ini benar masih terbatas pada kerjasama sebatas PKPA kiranya belum cukup memanfaatkan hubungan yang bisa saling menguntungkan itu. Perlu adanya suatu pelembagaan kerjasama itu agar berkesinambungan dan berdampak pada hasil yang ingin dicapai. Tapi bukan seperti apa yang ada sementara ini beredar yakni memohon agar Advokat menjadi prodi sehingga dapat gelar M.AD. Kesan saya usulan seperti ini hanya berorientasi gelar, yang hemat saya belakangan ini memang sudah menjadi semacam patologi. Misalnya banyak yang menjadi guru besar tapi tidak pernah menjadi guru bahkan di tempat di mana jabatan itu diberikan. Seolah-olah guru besar yang disimbolkan dengan Professor adalah gelar.

Kembali pada evaluasi momentum 100 tahun pendidikan tinggi hukum di Indonesia. Secara lebih konkrit dalam kaitan ini ingin membahas pada kesempatan ini apakah para Sarjana hukum (”SH”) lulusan fakultas hukum setelah kemerdekaan Indonesia sudah lebih baik dari para Meester in de Rechten (”MR”) lulusan Rehtshooge School yang pendidikannya dimulai tahun 1924 di Batavia Hindia Belanda. Itu salah satu refleksi yang relevan menjelang peringatan 100 tahun pendidikan hukum di Indonesia tahun depan dan dugaan saya telah menjadi substansi diskusi selama konferensi ini.

Ada kesan seolah-olah MR itu lebih berkualitas dibanding para SH. Tapi kesan bukan suatu kepastian karena belum ada penelitian. Kesan itu tidak perlu dibantah tapi dijadikan saja sebagai motivasi agar kita terus berusaha memperbaiki apa yang masih kurang dan memperbaikinya dengan inovasi yang bisa dilakukan dengan bantuan fasilitasi dari kemajuan teknologi informasi dan AI itu.

Jika para MR itu dulu lebih difokuskan pemerintah kolonial untuk mengisi jabatan-jabatan di pemerintahan dan peradilan di Hindia Belanda yang tidak bisa dipenuhi lagi dari lulusan dari Belanda, para MR itu kemudian diklaim berhasil karena menjadi tokoh-tokoh utama yang merancang NKRI dan UUD45 seperti Soepomo dkk. Bagaimana dengan para SH ? Sekarang ini para SH diharapkan tentunya untuk memiliki peranan yang lebih luas lagi. Sebab pemerintahan demokrasi NKRI sudah semakin memerlukan banyak sarjana hukum berperan dalam wilayah publik, politik dan pemerintahan serta profesi. Tapi SH yang seperti apa, itu juga pertanyaan yang perlu dibahas dan dirumuskan.

Dewasa ini dunia tengah menghadapi bahwa dunia sungguh ”datar” yang ditandai dengan globalisasi hampir pada semua kegiatan manusia. Kemajuan teknologi di bidang informasi dan robotik sebagaimana sudah disinggung di atas menjadi pendukung utama termasuk di sektor hukum, jasa dan pendidikan. Akibatnya timbul relativitas jarak di dunia ini yakni menjadi suatu masyarakat dunia. Semua ini telah mendisrupsi pekerjaan dan konsep-konsep dan penegakan hukum yang perlu terus diantisipasi. Para MR itu tidak mengalami ini tapi kita semua yang ada di sini mengalami. Itu tantangan yang ada di hadapan kita sekarang untuk segera kita bersiap diri dan mengubah praktek hukum dan tentu saja pengajaran hukum. Pengajaran dan praktek hukum bisa secara kolaboratif simbiose mutualistis untuk menghadapi tantangan yang tidak mudah ini. Misalnya peradilan kita dilakukan secara tertulis dari BAP penyidik, pledoi sampai putusan hakim. Tapi pengajaran tentang hal ini seperti bagaimana membuat argumentasi hukum, komposisi, legal reasoning, logika dan sylogisme belum berkembang sebagaimana diharapkan. Sekarang AI Chat GPT bahkan bisa diminta dengan cepat melakukannya dengan baik sekalipun tetap masih dikritisi.
Konferensi ke 5 i-Clave ini kiranya telah menyadarinya, membahasnya dan mencapai tujuan yang diharapkan dalam pembahasan dalam mengantisipasi kemajuan itu. Termasuk mengantisipasi disrupsi kemajuan teknologi informasi itu dalam dunia pendidikan hukum. Sambil menikmati udara di Balige, tempat kelahiran saya, dan nantinya keindahan Danau Toba dan kebudayaan Masyarakat Batak, kiranya juga telah membantu produktivitas para peserta selama konferensi membahas issue penting dan berat ini.

Khususnya Danau Toba saat ini sebagai tujuan wisata telah semakin berkembang. Banyak fasilitas yang memadai sudah mulai tersedia. Ini terjadi setelah ditetapkan Pemerintah bahwa Danau Toba sebagai salah satu tujuan 10 destinasi wisata terbaru di Indonesia. Masyarakat disini bilang ini Balige, bukan Bali. Maksudnya kunjungilah Balige tidak melulu ke Bali. Karena keindahannya tidak kalah menarik. Terimakasih untuk panitia yang memilih tempat ini supaya terjadi trickle down effect ekonomi. Biarlah rupiah sekecil apapun juga ikut menetes di Danau Toba ini.

Dalam pelaksanaan konferensi ini, FHUI sebagaimana diketahui bekerja sama dengan FH USU, FH UISU, UINSU, FH UN dan UMSU. Kerja-sama yang baik seperti ini kiranya terus bisa dapat berkelanjutan untuk saling berbagi kepedulian dan sekaligus hasil penelitian serta perkembangan keilmuan masing-masing. Karena bagaimanapun Indonesia yang beragam kebudayaan dan posisi masing-masing di daerah masyarakat berbeda atau dalam konteks yang berbeda akan bisa menjadi sumber informasi dalam mendukung untuk kemajuan bersama untuk memajukan hukum dan pendidikan hukum di Indonesia.

Sebagaimana diharapkan, konferensi ini adalah untuk saling mengerti, berbagi dan merefleksikan dan berbagi pengetahuan dari akademisi, praktisi dan pemerintahan untuk sistem hukum yang lebih baik di Indonesia ke depan. Sebagaimana direncanakan, selama konferensi ini para peserta telah mendiskusikan secara holistik tema utamanya ”Law, Justice and the law school towards 100 years of legal education in Indonesia” dan berbagai topik khusus dalam berbagai bidang hukum. Tentu suatu wawasan dan pemahaman baru tentang apa dan bagaimana membangun sistem hukum dan pengajarannya yang akan datang sudah semakin lengkap dan tajam dengan adanya berbagi dari berbagai pengalaman selama konferensi.

Saya mengerti bahwa sebelumnya Wakil Menteri Hukum dan HAM Prof Edward Omar Sharif Hiarej telah memberikan keynote speech dalam pembukaan konferensi. Sebagai wakil Menteri dan juga guru besar bagaimana visi hukum Indonesia ke depan sudah dikemukakan. Pada saat yang sama apa harapannya pada konferensi ini telah juga disampaikan. Kiranya visi itu sudah bagian dari panduan bagaimana setiap peserta telah melakukan kontribusinya selama konferensi.

Setelah keynote speech dari Prof Edy, konferensi kemudian telah diikuti secara berturut-turut dengan pembicara-pembicara yang handal di bidangnya. Prof Harkristuti Harkrisnowo, Prof Simon Butt, Associate Professor Gary Bell, Prof Bajpai dan Agung Pasca.

Kemudian telah diikuti pula dengan sesi-sesi secara parallel dengan topik bervariasi dari peserta. Dalam plenary 1 telah membahas bagaimana situasi kekinian dan refleksi Pendidikan hukum di Indonesia. Kemudian dalam plenary 2 telah membahas bagaimana pandangan (the outlook) dari Pendidikan hukum di Indonesia. Semua itu dilakukan dalam merefleksikan satu tujuan bagaimana “Law, Justice and the law school towards 100 years of legal education in Indonesia”.

Oleh karena itu, sebagaimana direncanakan, kiranya ada artikel yang diajukan dari i-Clave ini terpilih untuk dipublikasikan. Sebagaimana diinformasikan publikasi itu akan dilakukan di Jurnal scopus-indexed books by Nova Publisher, the Indonesian Law Review Journal, dan the Indonesian Journal of International Law -keduanya jurnal terindex scopus. Publikasi ini adalah merupakan parameter yang akan dijadikan untuk mengukur achievement sebagai akademisi. Dengan begitu konferensi ini sekaligus telah menjadi fasilitas untuk tujuan itu.

Akhir kata saya sebagai Ketua Umum PERADI menyampaikan setelah bekerja keras dan berpartisipasi dalam konferensi ini dan setelah penyelenggara juga bekerja keras mempersiapkan konferenssi akhirnya waktunya sekarang menikmati Danau Toba dan budaya masyarakat Batak. Selamat berkeliling Danau Toba dan menikmati tari tor-tor. Horas.***

 

The Theory and Practice of Law: A Mutually Beneficial Relationship

Keynote Speech (Closing) on i-Clave ke 5 di Balige, Toba, Sumut.

by Dr. Luhut M.P Pangaribuan, SH., LL.M

the Chairman of Indonesian Advocate Association (“PERADI”)

 

First of all, I would like to express my gratitude for giving me the opportunity, as an advocate or legal practitioner, to deliver a closing keynote speech on this fifth i-Clave Conference.

It is truly an honor and I, as chairman of PERADI, and on behalf of all PERADI advocates would like to send our greetings and again appreciation in front of distinguished legal scholars who have spared their valuable time in discussing the growth of law after one hundred years of law education in Indonesia which will take place next year. As advocates, we truly care on how law has developed in terms of education and not solely in practice.

We care because both we truly believe that the theory and practice of law is a mutually beneficial relationship (or in Indonesian, simbiosis mutualisme).

My appearance as Chairman of PERADI suggests that we are all aware of the importance of such complementary relation between law theory and practice.

In particular with the momentum of the incoming celebration of one hundred years of law education in Indonesia, this is the right time to evaluate. How and where our legal system is positioned as of today in connection with information technology disruption and artificial intelligence.

Development in every area, including the amazing occurrence of disruptions as the result of the growth of information technology, internet of things, as well as artificial intelligence (AI) must certainly be our paradigm in strengthening our law in the near future. The search engine, for example, has made the task of finding legal information in accurate, complete and fast manner become easy. As the result of development in this area, law graduates, academics or practitioners are massively helped in carrying legal research and also in drafting legal opinion for advocates.

What are the responses of the law faculties and the profession of advocates to such development? Are there any innovations crafted in line with such growth? Is there any mutual communication made institutionally between the law faculties and the profession of advocates or whether such communication existed merely on the collaboration in organizing Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) as one of the requirements to become an advocate? If this is the case, then we can safely conclude that such collaboration has yet to give any impact as a response to the growth mentioned above.

It seems that the experience of other countries showed significant progress on this matter. University always deliver queries to advocate professionals in regard with theories obtained in the faculty of law compared to the actual practices and whether further input required in the lessons teached at the faculty of law. Frankly as Chairman of PERADI, I have never being contracted with such queries when they, in my opinion, are important and productive in responding positively to such growth.

If the answer of such questions rely merely on the collaboration of PKPA, then it is nowhere sufficient in utilizing the mutual relation.

We need for such collaboration to be institutionalized in order to become sustainable and impactful to the desired outcome. However, it is not the same with the currently developing situation in which there are request for advocate to become a study program in law faculty with a title of M.Ad.

My impression is that such approach only results in universities becoming a degree mill and in my opinion has become a sort of pathology nowadays.

A comparison can be made for the appointments of professor or “Guru Besar” even though some may have never been a lecturer and have never taught in the the institution where the title is given to them. Becoming a professor is the culmination of years and years of hard work, in researching, in writing, in teaching, in conducting community development. It is not merely a title.

Returning to the momentum of the upcoming celebration of one hundred years of law educations in Indonesia, I want to concretely discuss in this opportunity on whether graduates from law faculty with the title of Sarjana Hukum/SH, having received their law education after the independence of Indonesia are better from those who graduated as Meester in de Rechten (”MR”) from Rehtshooge School where such program started further back in 1924 at Batavia, Dutch East Indies.

This is a relevant reflection in relation with this upcoming celebrations of one hundred years of law education in Indonesia and I believe has become discussion materials in this conference.

There is an impression as of MR graduates are more competent compared to those SH graduates although such impression is not to be accepted as certainty as there is no research on that matter.

This impression should not be denied but instead let us consider it as a source of motivation to fix any existing flaws through innovations with the facilitated assistance from information technology and artificial intelligence as mentioned above.

If those MR graduates were focused by the colonial government to fill in on many positions in the government and judiciary institutions as human resources graduating from native Netherland are deemed not sufficient, they were considered successful as they became the main protagonists in constructing The Republic of Indonesia and UUD 1945 like Soepomo and friends.

How about SH graduates? Currently they are expected to contribute in extensive roles as the democratic government of Indonesia require more SH graduates to have a role in public domain, politics, government and professions. However, what kind of SH graduates are we talking about? This is a question which need to be discussed and formulated.

At this moment, the world is facing what we called as a “flat” world marked by the fast globalization almost in every human activities. The growth of technology in information and robotic tools as previously mentioned has become the main assistance including in the area of law, services and educations resulting relativity in distances and creating community of the world.

The developments have contributed to the disruption of works, concepts and enforcement of law which needs to be anticipated. These were not experienced by MR graduates, but instead by all of us at this place. This is a challenge in which we all must prepare ourselves and change the law practices as well as its education.

Law education and practice must have a mutually beneficial relationship to face such difficult challenges. For example, our judiciary system are practiced with written submissions such as minutes of investigations, Indictment, plea of defence (pledoi) up until the decision of the panel of judges.

However, education on the relevant skills required such as how to construct legal arguments, compositions, legal reasoning, logical and analytical thinking and syllogism are not developing as expected. An artificial intelligence tool like Chat GPT can be instructed to execute these works quickly despite being far from perfect.

I believe that this fifth i-Clave conference is well aware of such issues and will be discussing them and finally reaching the desired purposes in anticipating such developments including disruption of information technology in the world of law education.

These discussions will take place while enjoying the fresh air of Balige, place of my birth, next to the beauty of Lake Toba and Batak traditions, I hope all of this will help contribute to the productivity of all participants of this event in discussing such an important issue.

Particularly Lake Toba in which at this moment has been rising as tourist destination. Many proper facilities available now. This is after Lake Toba were declared by Indonesia government as one of ten new tourist destination in Indonesia. People here said that this is not Bali, but Balige. They meant, please visit Balige, not just Bali, because the beauty and attractiveness is comparable. We thank the organizing committee in choosing this place so the trickle down effect of economy can occur. Let Rupiah, no matter how small, drip in this Lake Toba.

In organizing this conference, as we understand, Faculty of Law of Universitas of Indonesia (FHUI) collaborated with law faculties of USU, FH UISU, UINSU, FH UN and UMSU.

I sincerely wish that this good collaboration can be sustained in mutual sharing of awareness, as well as research results and also development of each sciences. This is because Indonesia with its variety of customs and different positions of local people, can act as a source of information to support joint growth of law and law education in Indonesia.

As expected, this conference are made for us to mutually understand, reflect and share any knowledges from academics, practitioners and government in order to establish better legal system in Indonesia going forward.

As planned, during this conference, the participants have holistically discussed the main theme ”Law, Justice and the law school towards 100 years of legal education in Indonesia” and many other specific topics in several area of law. Certainly it is a new outlook and understanding in regard with what and how to build legal system and its education going forward in which has been more accurate and complete through the sharing of many experiences during the conference.

I am aware that previously The Vice Minister of Law and Human Rights, Professor Edward Omar Sharif Hiarej has delivered his keynote speech on the opening of the conference. As a Vice Minister and Professor, he has conveyed the vision of law in Indonesia going forward and also his expectation of this conference. I believe that such vision has guided the participant’s contributions in this conference.

After the keynote speech of Professor Edy, this conference has also consecutively presented several lecturers which are   prominent in their respective areas. Professor Harkristuti Harkrisnowo, Prof. Simon Butt, Assoc Prof Gary Bell, Prof Bajpai and Agung Pasca.

Also the conference has held several parallel sessions with many topics brought by the participants. In Plenary one, the conference has discussed on the state of current situation and reflections of law education in Indonesia. In Plenary Two, the conference has discussed on the outlook of law education in Indonesia. These were exercised in order to reflect one purpose regarding “Law, Justice and the law school towards 100 years of legal education in Indonesia”.

Therefore, as also planned, I encourage for several articles created in this conference to be selected and published. As previously informed, the publication will be carried on scopus-indexed books by Nova Publisher, the Indonesian Law Review Journal, and the Indonesian Journal of International Law -both scopus -indexed journals. This publication will act as parameters to measure the achievement of academics. Hence, this conference will be the facilitator for that purpose.

Finally, after all the hard work and participations in this conference, as well as for the committee who has worked hard in organizing this event, as Chairman of PERADI, I would like to say that this is the time to enjoy the beauty of Lake Toba and Batak traditions.

Have a good time in exploring Lake Toba and enjoying tor-tor Dance. Horas. ***

 

Balige, 8 November 2023